“Kamu Bergaya, Maka Kamu Ada”
Mungkin begitulah sebagian besar pesan moral yang saya dapatkan dari menonton film garapan Lucky Suwandi tersebut, ditengah — tengah pandemi ini. Sesekali saya tertawa kecil, mengakui betapa relate nya adegan — adegan dari film ‘Selamat Pagi, Malam’ dengan masalah sehari — hari yang sebagian besar sudah menjadi hal yang biasa bagi kita. Ya, walaupun begitu, masalah — masalah itu tetap mengusik kita semua sejak dulu hingga sekarang.
Melihat perkembangan gaya hidup zaman sekarang, film keluaran tahun 2014 ini cukup menyindir dari dialog — dialog dan adegan — adegannya. Mulai dari lifestyle, teknologi, pergaulan, dan masih banyak lagi yang tidak banyak berubah sekarang — sekarang ini. Anak muda memenuhi gerai — gerai coffee shop dan restoran dengan estetika cantik, beberapa sibuk dengan laptop mereka masing — masing. Tak lupa, segelas es kopi susu di atas meja mereka. Sesekali menambahkan sebuah pembaruan di media sosial, bentuk sarana aktualisasi diri.
Dan mungkin, kamu dan saya termasuk salah dua dari mereka.
Empt karakter utama dalam ‘Selamat Pagi, Malam’ mendeskripsikan masalah — masalah di atas dengan mulus, terasa dekat sekali dengan kehidupan sehari — hari. Entah itu merupakan masalah individu, atau masalah orang yang ada di sekitar kita, mulai dari menjadi pentingnya sebuah aktualisasi diri lewat media sosial, gadget sebagai the other half dari kita sebagai manusia, social climber, hingga budaya konsumtif yang bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan namun untuk memenuhi gengsi.
Menurut saya film ini tidak hanya merupakan film ringan yang mudah dipahami, namun juga film yang jujur. Tingkah laku individu yang bertopeng hanya untuk menyetarakan standar sosial yang berujung pada krisis identitas seseorang. Menuju akhir film, semua karakter ditemukan pada titik balik keadaan. Seakan menyuruh untuk mengambil pilihan. Menjadi diri sendiri dengan senyaman nya dan tidak mempedulikan apa kata orang sekitar, atau tetap menjadi ‘ada’ di tengah — tengah society dengan standar sosial yang penuh tekanan.
Saya terdiam cukup lama begitu film ini benar — benar selesai. Pikiran saya cukup penuh saat itu. Terlintas mengingat pelajaran ilmu fisika bahwa tekanan berbanding lurus dengan gaya. Apakah berlaku untuk kehidupan sosial juga? Bahwa, mungkin saja hidup ini terasa banyak tekanan salah satunya adalah karena banyak gaya?
Dengan uang bulanan — entah itu gaji atau sangu dari orang tua — anggapan selalu saja banyak yang merasa tidak cukup. budaya nongkrong, konsumsi kopi dari gerai coffee shop baru atau ternama di kota masing — masing, membeli kaos keluaran terbaru, atau berlomba konsumsi sebuah produk alih — alih ‘mumpung diskon’ dan berakhir mengeluh. Kadang lupa bersyukur.
Karakter Gia (diperankan oleh Adinia Wirasti) dan Naomi (diperankan oleh Marissa Anita) berhasil membuat kalimat ‘bahagia itu sederhana’ sangat nyata dalam beberapa adegan atau lebih tepatnya, untuk saya pribadi, ‘hidup itu sederhana, gaya yang bikin ribet’.
Coba diingat kembali, berapa kali kebiasaan yang kurang penting itu datang hingga membuat uang lenyap entah kemana? Apakah kita akan terus begini? Memenuhi standar sosial sekitar yang membuat kita sendiri mendampati berada ditahap krisis identitas? Kalian sendiri yang pilih.
‘Selamat Pagi, Malam’ sangat layak untuk ditonton, apalagi saat pandemi seperti ini yang mana PPKM (atau PSBB) membuat kita semua mau tak mau beradaptasi dengan normal yang baru. Film ini sedikit mengobati rasa rindu suasana malam kota sendiri, dimana malam merupakan kondisi terjujur dari sebuah kota dan masyarakat yang ada di dalamnya.